Secara hukum, kesehatan di Indonesia menjadi tanggung jawab negara. Hasil amandemen UUD 1945 pada tahun 2000 mulai menunjukkan keberpihakan negara terhadap masalah kesehatan. Pasal 28 H ayat I menyebutkan bahwa : “…setiap penduduk berhak atas pelayanan kesehatan”. Jika selama ini sering diperdebatkan apakah pelayanan kesehatan sebagai Private Goods atau Public Goods, dengan adanya pasal diatas maka menunjukan bahwa kesehatan menjadi tanggaung jawab pemerintah dan negara harus berperan dalam pelayanan kesehatan.
Selain itu pasal 28 H
tersebut semakin diperkuat dengan amandemen UUD 1945 tanggal 11 agustus 2002
dimana terdapat dalam amanat MPR bahwa “Negara mengembangkan jaminan sosial
bagi seluruh rakyat”, seperti juga tercantum dalam pasal 34 ayat 2 UUD 1945.
dalam pasal 3 tersebut, MPR juga menggariskan bahwa ; “Negara bertanggung jawab
atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan”. Menurut Thabrany bahwa
amandemen 3 pasal dalam UUD 1945 menunjukkan bahwa tujuan negara sebenarnya
sudah semakin jelas yaitu secara eksplist menempatkan kesehatan sebagai bagian
dari kesejahteraan rakyat yang harus tersedia merata. Dengan kata lain, prinsip
ekuitas telah
ada dalam UUD 1945 sehingga daerah-daerah seharusnya tidak lagi menghindar dan memberi porsi yang lebih besar untuk pendanaan kesehatan.
ada dalam UUD 1945 sehingga daerah-daerah seharusnya tidak lagi menghindar dan memberi porsi yang lebih besar untuk pendanaan kesehatan.
Banyak lika liku
perjalanan pengesahan RUU BPJS yang dilahirkan dari adanya UU SJSN. Perdebatan
politik dan kepentingan masing-masing kelompok ini yang mengakibatkan
perdebatan alot dalam merumuskan kebijakan. Munculnya SJSN dan BPSJ tidak lain
juga turunan dari deklarasi PBB tentang HAM pada 1948 dan konvensi ILO No. 102
tahun 1952 disebutkan Jaminan sosial
merupakan salah satu bentuk perlindungan sosial yang diselenggarakan negara guna menjamin warga negaranya untuk memenuhi kebutuhan dasar hidup yang layak.
merupakan salah satu bentuk perlindungan sosial yang diselenggarakan negara guna menjamin warga negaranya untuk memenuhi kebutuhan dasar hidup yang layak.
BPJS kini (dilema
kepesertaan)
Menjelang
pergantian tahun kegelisahan di kalangan pengusaha dan pekerja tampak
meningkat, terkait dengan kewajiban melakukan pendaftaran sebagai peserta Badan
Penyelenggara Jaminan Kesehatan (BPJS) Kesehatan paling lambat tanggal 1
Januari 2015 bagi pemberi kerja pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN), usaha
besar, usaha menengah, dan usaha kecil.
Sebagian dari peserta
BPJS Kesehatan adalah mereka sebelumnya tidak mempunyai jaminan kesehatan. Bisa
jadi sudah memiliki tetapi dengan manfaat yang terbatas sehingga pindah ke
BOPJS Kesehatan. Berasal dari berbagai status, dari peserta bukan pekerja atau
pekerja bukan penerima upah, atau pekerja penerima upah dari usaha mikro, dan tidak
menutup kemungkinan dari usaha kecil, menengah atau usaha besar.
Peserta BPJS Kesehatan
mandiri pada 1 Januari 2014 baru ada 535 orang, kemudian meningkat menjadi
162.201 orang pada 15 Januari 2014. Pada bulan Juni 2014 mencapai sekitar 2
juta orang.
Kemudian muncul
permasalahan. Kepala BPJS Kesehatan Divisi Regional I Sumut-Aceh, Oni Djauhari,
di Medan, 14 Agustus 2014, mengungkapkan, saat ini jumlah peserta BPJS mandiri
sekitar 500 ribuan dan 90 persennya adalah mereka yang sakit. Kepala BPJS Kesehatan Cabang Pekanbaru,
Mairiyanto, di Pekanbaru, 24 Agustus 2014, mengungkapkan, peserta kategori
mandiri dan perusahaan banyak yang menunggak membayar premi, sehingga dapat
mengganggu keberlanjutan program JKN. Saat ini lebih dari 50% peserta mandiri
menunggak, (termasuk) kepesertaan yang dibayarkan perusahaan juga cukup banyak
(kompasiana).
Salah satu contoh:
peserta membayar premi mulai Januari sampai dengan Juli 2014, setelah
mendapatkan pelayanan kesehatan tindakan medis operasi melahirkan pada Juli
2014, pada Agustus 2014 peserta tidak lagi mau membayar premi. Apakah mereka
menunggak karena tidak mampu, atau sebelumnya mereka telah mengetahui akan
menerima risiko jatuh miskin atau berhutang saat persalinan tiba (operasi
persalinan). Atau sekedar “akal-akalan?” Bila benar kurang mampu, menjadi
sebuah dilema antara harapan melahirkan dengan sehat atau menerima sanksi yang
juga sulit dihadapi.
BPJS Kesehatan
mencapai surplus anggaran Rp.2 triliun, berasal dari pengumpulan premi sebesar
Rp.18,412 triliun, per 30 Juni 2014, sehingga BPJS Kesehatan tidak kuatir untuk
operasional karena dana lebih dari cukup
Dampak KIS terhadap
BPJS
Tribunnews.com, Jakarta- Program Kartu Indonesia Sehat (KIS) akan menjadi program yang
diintegrasikan dengan Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang kini sudah
mulai dilakukan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosoal Kesehatan. KIS akan
memberikan tambahan pelayan kesehatan.
Direktur Utama BPJS Kesehatan Fachmi Idris mengungkapkan untuk menambah layanan
kesehatan itu, maka premi yang dibayarkan pun diperkirakan akan naik.
"Premi, iuran yang selama ini belum sesuai itu ditambah," ujar Fachmi
di sela-sela acara pameran teknologi di Tugu Proklamasi, Jakarta, Sabtu
(5/9/2014).
Fachmi menuturkan penambahan premi itu diperlukan untuk menambah
fasilitas kesehatan. Namun, dia mengaku belum mengetahui pasti kenaikan premi
yang ditetapkan.
Saat ini, iuran bagi pekerja informal itu sebesar Rp 25.500 per bulan
untuk layanan rawat inap kelas III, Rp42.500 untuk kelas II, dan Rp59.500 untuk
kelas I.
Selain itu, Fachmi juga mengungkapkan ada kemungkinan penambahan
subsidi bagi masyarakat miskin. "Kalau dulu Dewan Jaminan Kesehatan
Nasional mengusulkan iuran yang dihitung berdasarkan prinsip Rp 27.000 per
bulannya," kata dia.
Dalam republika.com "KIS
tak hanya menyasar masyarakat miskin, tetapi juga golongan rentan miskin.
Menurut perkiraan, kartu ini akan dibagikan kepada 88,1 juta orang, lebih
banyak dari jumlah warga yang terdaftar sebagai peserta JKN yang hanya mencakup
86,4 juta orang," ujar Sekretaris Menko Pembangunan Manusia dan
Kebudayaan, Sugihartatmo, Senin (3/11).
Sugihartatmo menjelaskan setiap pemegang KIS akan ditanggung pemerintah melalui Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Peserta KIS juga bakal dikenakan premi sebesar Rp 19.225 per orang.
Sugihartatmo menjelaskan setiap pemegang KIS akan ditanggung pemerintah melalui Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Peserta KIS juga bakal dikenakan premi sebesar Rp 19.225 per orang.
Rekomendasi
1. Mengawal
UU BPJS
Mengawasi
agar UU BPJS ini agar dapat berjalan sesuai dengan landasan filosofis dan
kepentingan masyarakat Indonesia pada umumnya. Oleh karena jika tidak, UU
BPJS ini akan kembali ‘masuk angin’ dan kemudian dana trilyunan rupiah akan
raib atas nama kepentingan-kepentingan politik yang selalu dikatakan imajiner
atau membayang.
Landasan
filosofisnya adalah Negara mempunyai kewajiban untuk kemaslahatan warga
negaranya. Negara tidak boleh abai terhadap penderitaan rakyat.
Indonesia semestinya sudah dapat maju selangkah karena mempunyai undang-undang
dasar yang memberikan amanat kepada penyelenggara Negara untuk menciptakan
kebijakan jaminan keselamatan nasional ini. Sementara itu, Negara-negara
Eropa – contohnya Perancis – yang mempunyai karakter liberal memiliki
undang-undang jaminan keselamatan nasional. Bahkan Amerika yang terkenal
liberal selain memiliki jaminan keselamatan nasional juga memiliki anggaran
belanja Negara yang cukup besar yaitu sebesar 19.8 prosen. Hal ini
menunjukkan filosofi dari bernegara yang menunjuk kepada Negara kesejahteraan
(welfare state) telah menjadi acuan bagi setiap Negara bangsa di dunia.
Pada akhirnya Indonesia pun masuk ke dalam trend global tadi.
Dalam
proses formulasi kebijakan, memang terjadi proses yang rumit dan memakan waktu
karena tarik menarik dan pro kontra terjadi antarsesama elemen Negara, fraksi,
maupun antarorganisasi non pemerintah terhadap kebijakan jaminan keselamatan
nasional. Dengan demikian proses formulasi politik memang sangat politis
daripada tahap implementasi dan evaluasi. Memang tahap formulasi ini
merupakan satu tahap penting dari keberhasilan sistem politik untuk
mengakomodasi suatu gagasan atau masukan yang telah tersebar di masyarakat
untuk diformulasikan ke dalam suatu kebijakan Negara yang akhirnya bersifat
mengikat dan memaksa.
2. Perlu
peningkatan sosialisasi oleh BPJS Kesehatan kepada seluruh peserta.
3. Untuk
penekanan biaya ekonomi, program BPJS dalam wilayah promotif masih belum
terlihat aplikasinya. Program BPJS lebih menekankan pada wilayah kuratif dengan
adanya asuransi biaya kesehatan yang artinya biaya tersebut dibunakan untuk
kepentingan kuratif saja.
4. Perlunya
peningkatan kwalitas pelayanan, baik administrasi maupun pelayanan medis.
5. Penelitian
data objective sebagai upaya monitoring dan evaluasi keberhasilan program
secara menyeluruh (merata)
Disampaikan pada Diskusi Isu Kesehatan bidang PTK/p HMI Komisariat Ahmad Dahlan 1
Muslihah, Ketua Umum HMI Komisariat Ahmad Dahlan 1 2013-2014
Disampaikan pada Diskusi Isu Kesehatan bidang PTK/p HMI Komisariat Ahmad Dahlan 1
Muslihah, Ketua Umum HMI Komisariat Ahmad Dahlan 1 2013-2014
0 komentar :
Posting Komentar